Minggu, 20 April 2008

Bayang Asa

Hari tak dapat kukejar
Cita tak dapat kuraih
Belenggu angan menyerang
Setiap terjaga dari hidup

Bosan rasanya mengingat harap
Karena harap tak berujung nyata
Bocah-bocah berlari dengan hampa
Tak sadar apa yang menanti

Sementara aku…
Disini,
Terpatri dalam harap…
Asa,
Hanya itu yang kupunya…
Tunggu,
Dan Tuhan tentu saja

Karya orisinil dari : Dasep Buchori
Yogyakarta, Jum’at 18 April 2008, 09.15 wib

Kamis, 17 April 2008

Saat Sang Surya Tenggelam

OLEH ADIB HIDAYAT, ROLLING STONE INDONESIA.

MENGENANG SEORANG MUSISI LEGENDARIS YANG SUARA, SOSOK, DAN KARYA-KARYANYA TIDAK AKAN PERNAH HILANG DARI INGATAN DARI INGATAN KITA SAMPAI KAPANPUN.

“Inalillahi Wa Inna Ilaihi Roji’un”. Telah meninggal dunia saudara/sahabat/legend kita CHRISMANSYAH RAHADI / ”CHRISYE” Jum’at, 30/03/2007 jam 04.00 WIB, jenazah disemayamkan di Jalan Asem 2 No. 80 Cipete, Jaksel” JUM’AT, 30 MARET 2007 PADA JAM 04.42

SEBUAH SMS DENGAN ISI SEPERTI TERTULIS DI atas itu tiba-tiba masuk ke handphone saya. Emil, yang selama in dipercaya menjadi asisten dan manajer Chrisye menuliskan sebuah berita yangs selama ini saya takutkan. Teramat saya takutkan sekali. Sebuah berita yang saya harap tidak akan mendengarnya. Saya tidak mau dalam waktu dekat meneriman kabar ini. Saya mau berita ini muncul 100 tahun lagi jika Tuhan mengijinkan. Saya masih ingin mendengar suara teduhnya menembangkan “Merpati Putih” atau “Merepi Alam”. Tetapi Tuhan punya scenario lain dengan perjalanan hidup seorang musisi besar dan bersahaja bernama Chrisye. Setelah hampir dua tahun menderita sakit kanker paru-paru, kondisi Chrisye yang sempat berangsur membaik – bahkan bisa tampil gagah berani di panggung dan medan panas seperti A Mild Live Soundrenaline 2006 – akhirnya penyanyi kharismatik yang juga bisa bermain bass di awal karirnya ini harus menghadap Tuhan. Sejenak saya terdiam saat menyadari berita tersebut. Mata masih belum sadar. Di layar handphone saya meninggalkan 3 missed call dari Indra, Managing Editor Rolling Stone Indonesia. Saya yakin dia menelepon untuk memberi tahu ikhwal meninggalnya Chrisye. Tak lama telepon darinya berbunyi lagi, di seberang sana Indra sambil mengendarai mobilnya di jalan tol memberi tahu meninggalnya pelantun pop paling melenakan dari kancah music Indonesia itu. Kami janjian untuk bertemu di rumah almarhum untuk melayat. Tetapi entah kenapa, sejenak dorongan hati segera meminta saya mencari album Badai Pasti Berlalu yang dirilis hampir 30 tahun yang lalu. Ini album yang asli, bukan remake yang dirilis Chrisye tahun 1999 atau yang kemarin baru saja dirilis oleh nama-nama pop yang melanturkan estetika dan kesakralan album pop terbaik yang pernah ada di Indonesia. Lagu demi lagu yang terdengar makin membangkitkan baying pada almarhum, “Tiada lagi melodi… dapat ku cipta tanpa senyummu” bunyi lirik yang terdengar dari lagu “Pelangi” benar-benar menusuk hati. Tak percaya rasanya membayangkan Chrisye telah tiada. Saya percaya, sejak hari ini Indonesia telah kehilangan salah satu melodi terbaik yang pernah dimiliki. Paduan suara anak bangsa akan terasa sumbang manakala melodi indah yang biasanya terdengar itu telah pergi untuk selamanya.

A JOURNEY
Chrisye pertama berkenalan dengan wilayah music ketika bergabung dengan band bernama Sabda Nada di tahun 1968. Sabda Nada berdiri pada tahun 1966 dengan formasi awal : Ponco Sutowo, Gauri Nasution, Joe-Am, Eddy, Edit, Roland dan Keenan Nasution. Sabda Nada tidak berumur panjang dan berubah nama menjadi Gypsy di tahun 1969, itu juga membuat pergantian personil. Gypsy terdiri dari Gauri Nasution (Giutar), Onan (Keyboard), Tammy (Trumpet/Sax), Keenan Nasution (Drum), Chrisye (Bass) dan Atut Harahap (Vocal).

Kala itu Gypsy menjadi salah satu band Jakarta yang cukup disegani dan memiliki peralatan paling mewah pada jamannya. Band kelas atas istilahnya. Pada tahun 1971 formasi band ini berubah, dengan hadirnya Adji Bandi, Lulu dan Rully Djohan. Tahun itu juga mereka mendapat kesempatan terbang ke New York dan bermain di Ramayana Restaurant selama kurang lebih setahun. Ketika di New York Chrisye sempat pula bergabung dengan band The Pro’s yang terdiri dari almarhum Broery Marantika, Dimas Wahab, Pomo, Ronnie Makasutji dan Abadi Soesman.

The pro’s ini juga merupakan home band pada Ramayana Restaurant seperti halnya Gypsy. Sepulang dari New York pada tahun 1974, Chrisye bergabung dengan Guruh Soekarno Putra, Keenan Nasution, Odink Nasution, Abadi Soesman, Roni Harahap, serta Chrisye dalam kelompok Guruh Gypsy. Mereka merekam album bernama Guruh Gypsy di studio Tri Angkasa yang kala itu merupakan studio 16 track dan termasuk paling canggih di Indonesia. Rekaman ini dimulai pada Juli 1975 dan selesai November 1976. Kasetnya dirilis sebanyak 5.000 keping oleh PT. Pramaqua dengan dilengkapi sebuah buku setebal 32 halaman untuk menceritakan latar belakang album Guruh Gypsy termasuk makna dan lirik yang terkandung di dalamnya. Album yang memadukan beragam unsur gamelan Bali dan musik modern ini adalah salah satu album eksperimen yang banyak menelan biaya, waktu, dan tenaga. Selepas album ini Chrisye memutuskan untuk bersolo karir dan mulai menghasilkan album-album rekaman dengan lagu-lagu ciptaannya sendiri maupun teman-teman dekatnya. Termasuk ketika di tahun 1977, Chrisye berhasil mempopulerkan lagu “Lilin-Lilin Kecil” karya James F. Sundah dan memenangkan Lomba Karya Cipta Lagu Remaja Prambors ( LCLR ). Berikutnya sejarah tertoreh lewat suara emasnya.

CIPTA NADA SANG LEGENDA
- Guruh Gypsy – Pramaqua 1976
- Jurang Pemisah – Pramaqua 1977
- Badai Pasti Berlalu – Irama Mas 1977
- Sabda Alam – Musica Studio’s 1978
- Percik Pesona – Musica Studio’s 1979
- Puspa Indah - Musica Studio’s 1980
- Pantulan Cahaya - Musica Studio’s 1981
- Resesi - Musica Studio’s 1983
- Metropolitan - Musica Studio’s 1983
- Nona - Musica Studio’s 1984

Rabu, 16 April 2008

Yen…yen sini yen!!!

Mohon ampun Ya Rabb, tadi aku sholat ba’da maghrib di masjid tidak khusyu. Baru banget aku pulang dari masjid saat ini, ah..sholatku aku isi sebagian dengan perasaan tidak kuat menahan tawa, sehingga aku ngga yakin sholatnya diterima apa ngga. Ra-kaat pertama kujalani seperti biasa aku sholat, sehabis takbiratul ihram aku baca iftitah lalu al-fatihah. “Maliki yaumiddin”, sesaat setelah itu, aku ingat anak bule tadi, bule ke-sasar ada di Lodadi, nama kampung tempat aku tinggal di Jogja. Sering sekali aku li-hat anak bule ini datang ke masjid untuk sholat, sering pula aku lihat bapaknya, tinggi besar tidak terlalu kelihatan bule-nya, tapi kata temanku dia orang Italy yang hijrah ke Indonesia.
Tak tahan rasanya menahan rasa lucu ini, aku ingin tertawa sekali, habis al-fatihah, lalu ruku’, tetap saja aku tak kuat menahan tawa, I’tidal, sujud, duduk antara dua sujud, sampai rakaat kedua sampai sujud terakhir aku tetap ingin tertawa. Sampai aku yak-inkan diri untuk tidak tertawa saat sedang tahiyat untuk mengakhiri sholatku.
Penyebabnya adalah, saat itu aku ingat kejadian suatu pagi di kostku. Dani, anak ba-pak kost membawa main teman-temannya, ada Hari, Andi, sama Mulky dan satu lagi bocah bule Italy yang tampak mencolok diantara anak-anak Jawa ini. Kulit putih memerah, bibir merah pekat, rambut lurus berwarna tembaga, dengan postur yang sedikit lebih tinggi dari teman-teman Indonesia-nya. Namanya Bryan (tolong dibaca dengan aksen barat – gue).
Biasa, anak kecil main kelereng, main tanah, dan main-main lainnya yang memang mainan buat main anak kecil. Aku lihat bocah bule itu, “oh aksennya sudah Indonesia banget”, pikirku saat itu. Mungkin karena memang lahir dan besar disini, ah biasa saja.
Anak-anak itu pun segera pergi setelah main-mainnya selesai, Dani memanggil teman-temannya untuk masuk ke rumah, mungkin mengajak mereka makan, “Di, Har, Mul, sini.. ke rumah yuk”, anak-anak itu pun meng-iyakan ajakan Dani, “eh..Yen…Yen sini Yen”, teriak Dani yang lupa mengajak Bryan.
Saat itu, aku yang melihat kejadian itu ingin sekali tertawa tapi kutahan. Lucu sekali aku pikir, apakah anda berpikir sama dengan saya?. Di Indonesia sudah menjadi biasa, ketika seorang memanggil nama seseorang yang telah dikenal namanya dengan satu suku kata di awal atau di akhir nama depan orang yang dipanggilnya tersebut. Con-tohnya, Dani biasa dipanggil “Dan..”, Hadi biasa dipanggil “Di..”, dan lain-lain. Berbeda jika aku lihat dengan cara orang barat memanggil nama seseorang, di film yang sering aku tonton, biasanya mereka akan memanggil nama depan seseorang yang telah dikenal sebelumnya dengan suku kata yang lengkap dari nama orang yang dipang-gilnya. Contoh, Bryan akan dipanggil “Bryan..”, atau Gabrielle akan dipanggil lengkap “Gabrielle..”, memang ada sebagian nama yang bisa dipanggil dengan singkat seperti “Benjamin” suka dipanggil “Ben..” saja, atau “Nicky” bisa dipanggil “Nick”.
Saya rasa anda paham dengan teori saya di atas, tapi nama-nama di barat hanya sebagian kecil yang biasa disingkat ketika dipanggil, tidak seperti di Indonesia yang semua nama biasa di ucapkan dengan satu suku kata ketika nama tersebut di pang-gil. Tapi saat itu, Bryan dipanggil “Yen…yen sini yen”, ha..ha..ha.. lucu banget, sampai sholatku ngga karuan mengingat kejadian itu. “eh yen, katanya punya kakak cewek? Kenalin dong”

Ayah…terima kasih dari dua anakmu yang jauh

Ketika aku membaca tulisan dibawah ini :

“Ayahku adalah seorang guru Sekolah dasar di daerah tepencil dipinggir kali besar, sebagai anak guru sebagian masyarakat, kolega dan orang tua murid menyayangiku dan memberikan perhatian lebih, terkadang panggilan “pak Guru” yang ditujukan kepada Ayahku menjadi hal yang sangat membanggakan ketika aku mendengarnya, bahwa aku bangga bahwa ayahku adalah seseorang yang dihargai karena pekerjaannya, begitu indah menjadi pendidik, jika semua masyarakat mampu menghargai bahwa guru adalah orang yang paling berjasa dalam sejarah peradaban manusia.
Seiring berjalan waktu, profesi guru menjadi tidak menarik dan semakin tidak diminati karena tidak didukung oleh penangung kebijakan di Indonesia, gaji guru yang rendah menjadikan profesi guru meluntur dan kehilangan penghargaannya dalam strata ekonomi masyarakat, banyak dari para guru yang memiliki rangkap pekerjaan.
Ayahku adalah salah satunya, gaji bulanan dan jatah beras jelek tidak cukup untuk membiayai kebutuhan rumah tangga, akhirnya ayahku menjadi pengusaha beras pegawai negeri, entah bagaimana memulainya Ayahku menjadi sangat cepat terkenal dikalangan guru sedaerahku sebagai guru yang berani membeli jatah beras guru dan menjualnya kembali ke pasar, inilah rangkap pekerjaan ayahku memulai karirnya dalam berbisnis.
Jatah beras guru yang diberikan pemerintah pada saat itu adalah beras dengan mutu terjelek, baunya sangat menyengat, ketika anda memasaknya, aroma yang dikeluarkan mereflekan tangan menutup hidung, juga menyebabkan perut kembali mengerut kehilangan nafsunya, nasinya berwarna kecoklatan, ketika anda akan memakannya anda tidak akan mampu untuk mebuatnya menjadi yang menyatu, ketika anda mencoba untuk mengepalkannya maka yang terjadi adalah beras yang tergerai yang tidak melengket satu sama lainnya, mungkin itulah sebabnya kenapa beras itu dinamakan beras be’ar dalam bahasa sunda atau beras yang tidak lengket, mungkin dalam bahasa Indonesia bisa diartikan “beras terurai”, hanya ayam yang tidak akan berpikir ulang untuk memakan nasi tersebut, itu saya pikir, karena buktinya tidak banyak guru yang sanggup memakan beras jatah tersebut, dengan senang hati mereka menjualnya kembali dan membeli beras yang kualitasnya lebih baik sedikit.
Dalam bisnis beras jatah guru ini ada hal yang membuka fakta-fakta bahwa kehidupan guru di Indonesia sangat mengenaskan, diantaranya adalah ada yang menggadaikan jatah berasnya bulan depan dengan meminjam uang dibulan sebelumnya, artinya gaji yang diberikan pemerintah tidak bisa menutupi kebutuhan dasar kehidupan para guru, mungkin hal ini juga bisa menjadi salah satu faktor kenapa pendidikan di Indonesia tidak memiliki kemajuan yang pesat, karena KESEJAHTERAAN GURU sangat tidak diperhatikan, sementara dalam teori manajemen dikatakan bahwa peningkatan kesejahteraan berjalan searah dengan kemampuan karyawan memberikan kontribusi dan kesetiaan pada pekerjaannya, teori ini telah menunjukan kebenarannya dalam kasus kesejahteraan guru dan hasil pendidikan di Indonesia.”

Tulisan diatas dibuat oleh kakakku dede mariyah yang ada nun jauh disana, haru kurasakan ketika itu, aku tahu kehidupan ayahku hanya ketika mulai mempunyai pikiran yang bisa mengolah kejadian-kejadian yang ada di sekitarku.

Ketika itu aku, hanya tahu kehidupan ayahku sebagai seorang guru yang yang mempunyai istri seorang pemilik warung, warung yang besar, lengkap menyediakan segala kebutuhan keluarga. Ramai sekali warung yang dimilikki ibuku ketika itu, awal tahun 90-an.

Ayahku adalah seorang guru agama di sekolah dasar terpencil, karena dia seorang guru agama yang kegiatan mengajarnya tidak seperti guru konvensional yang harus datang ke sekolah sebelum jam tujuh dimana kegiatan pembelajaran sudah harus dimulai, maka ayahku bisa datang lebih siang untuk mengajar.

Memanfaatkan kesempatan waktu yang luang itu, ayah selalu sempat mengantar ibu belanja ke pasar dengan sepeda motor onyo merahnya, sebuah motor merk Honda tahun 70-an ber-cc 70 yang akhirnya diganti ayah dengan sepeda motor yang lebih bagus, motor besar berkopling merk Yamaha RX King ber-cc besar, orang-orang selalu menjuluki motor seperti itu sebagai motor bangsat, karena banyak sekali digunakan oleh pencuri bersepeda motor untuk lari dari kejaran polisi bila terjadi aksi kejar-kejaran, bila di pacu maksimal akan kencang sekali larinya, sekencang kijang yang diburu macan, motor polisi pun akan mati kelelahan dibuatnya.

Dengan dilengkapi karung besar terbuat dari goni yang biasa dipakai untuk beras, ayah mendesain karung itu seperti tas yang ada di sepeda motor seorang bapak pos. Bedanya ayah menggunakannya untuk tempat belanjaan ibu sedangkan bapak pos untuk tempat surat-surat yang siap diantarnya.

Setiap ibu dan ayah akan pergi belanja setiap pagi jam 5.00 sehabis shubuh aku selalu memesan kue gunung kesukaanku, kue yang terbuat dari adonan tepung terigu yang encer, dicetak kedalam cetakan yang akhirnya membuat kue tersebut seperti perahu terbalik, tapi aku terbiasa menyebutnya kue gunung. Ibu selalu mengabulkan permintaanku, senang sekali jika aku melihat ibu dan ayah pulang berboncengan berdua seperti sejoli dengan belanjaan di kiri kanan motornya, seperti pak pos yang sedang bekerja mengantar surat sambil pacaran dengan kekasihnya. Ibu yang gemuk, ayah yang ceking, tampak tidak proporsional. “ah…aku tak perduli dengan semua itu”, aku senang sekali melihat orang tuaku pulang.

Kehidupan kami boleh terbilang makmur ketika aku dilahirkan, berbeda dengan kehidupan sebelum aku ada, menurut cerita akulah anak yang paling dimanja dibanding empat kakakku sebelumnya, segala yang aku inginkan selalu terkabul, mainan, jajanan anak kecil, segalanya, aku punya. Akulah yang mempunyai mobil-mobilan paling canggih yang bisa berajalan sendiri sebelum anak-anak tetangga mempunyainya. Aku yang pertama kali mempunyai sepatu lebaran merk Bubble Gummer warna merah pemberian ibuku, keren sekali kupakai kala itu.

Aku selalu ingat jika aku harus membandingkan kehidupan keluargaku dengan keluarga dari ayah dan ibu. Adik-adik ayah, kakak dan adik-adik ibu, hampir semuanya tidak sesukses ayaku, aku tak tahu apa yang ada dipikiran mereka. Aku sangat bangga dengan ayah dan ibuku.

Ayah, ibu, doakan aku semoga menjadi orang yang selama ini kalian harapkan, sukses. Oh ya…aku ingat iklan Eveready dulu, iklan batere yang dipasang seorang laki-laki pada sebuah walkman yang dipasangi kaset rekaman berisi suara rekamannya sendiri berbunyi I love you..I Love You berulang-ulang kali. Ketika dipasangi batere, dan diputar untuk menyatakan cintanya pada seorang gadis, laki-laki itu dan gadis yang ada didekatnya kaget bukan kepalang, karena suara yang timbul dari walkman sangat kencang membuat keributan, menerbangkan semua benda yang ada disekitarnya, “I Love You…I Love You…I Love You”. Seperti itu aku akan berteriak kepada kalian, tentunya dalam arti yang berbeda. Ayah, jangan jadi orang yang dingin ya.

Selasa, 15 April 2008

Apaan sih nih…….. ini memang apa2

Apaan sih nih…….. ini memang apa2

Sudah satu jam aku terduduk di depan komputerku, di sebuah kotak kamar berukuran 3 x 2.75, semilir angin yang biasa menggerayangi tubuhku seakan-akan lenyap, biasanya suasana malam di daerah Kaliurang cukup dingin tapi tidak malam ini, gerah sekali kurasakan. Berkali-kali kucoba menulis sesuatu yang bisa aku tuangkan untuk curahan hatiku malam ini, sendiri dan aku tak berharap ada orang yang mau mendengarku.

Pertama aku tulis sesuatu mengenai perasaanku tentang masa-masa akhir kuliahku, aku bingung dengan semuanya, aku malu harus minta uang terus untuk membiayai kuliahku, aku mulai mencari kerja, ya aku dapat kerja sebagai surveyor di Paguyuban Cagar Budaya Yogya, waktu itu aku kuliah semester tujuh, sebenarnya aku kuliah semester 9, tapi aku pikir karena pada semester 4 dan 5 aku cuti jadi aku ga hitung, jadi aku lebih senang aku menyebutnya semester tujuh. Cuma bertahan satu hari, karena pada waktu itu aku kuliah 20 sks, jadwal yang cukup padat dalam satu minggu mengingat tugas gila yang diberikan dosen, juga waktu itu ada perasaan ga enak bila aku ketemu sama satu dosen yang memberikanku tugas gila tersebut. Hari itu kamis , jam satu siang harusnya aku ada kuliah tetapi aku bolos untuk bertemu orang yang memberikanku pekerjaan tersebut, setelah satu jam perjalanan disertai tanya sana sini karena aku belum tahu kantornya, akhirnya aku temukan tempatnya. Siip… aku pikir saat itu, setelah aku turun dari motor yang aku bawa, aku lepaskan helm putihku. “siang mas, mbak Miranda ada?”, aku bertanya pada seseorang berusia sekitar 30-an yang sedang mengerjakan sesuatu di depan kantor yang aku tuju, “coba lihat kedalam, mungkin sudah ada”, pria itu menunjuk pintu masuk agar aku masuk lewat pintu yang benar, “makasih mas”, kataku.

Aku masuk kedalam, dan aku bertemu dengan seorang wanita memakai hem lengan panjang tanggung sepanjang siku, agak ketat dengan celana panjang warna krem khas wanita karier, berwajah khas wanita jawa, orangnya sopan. “siang, ini pasti dasep ya?, silakan duduk”, sopan sekali dia memperlakukanku, “makasih mbak”, jawabku dengan senyum simpul untuk membalas kesopanannya. “Nama saya Wido”, dia memperkenalkan diri……………

Udah ah aku males nulis itu, trus aku ganti topik tentang sindrom ga betah tinggal di jogja yang muncul lagi di semester akhir ini, terakhir aku merasakan sindrom itu ketika awal-awal kuliah. Perasaan yang muncul kembali saat ini, aku pikir berbeda dengan yang dulu. Awal kuliah aku merasa ngga betah karena harapanku kuliah di Bandung tidak tercapai dan tiba-tiba aku ada di Jogja dan kuliah di Universitas yang sebelumnya tidak aku ketahui asal-usulnya, juga aku kaget dengan target mingguan jurusan yang aku ambil, bayangkan, dalam satu minggu aku harus membuat satu maket di kelas pada hari kamis dan satu maket tugas rumah, pada hari selasa aku harus menggambar dengan kerumitan lumayan tinggi mengingat gambar yang dibuat manual membutuhkan ketelatenan, jika orangnya ngga sabaran mungkin akan langsung keluar dari jurusan ini, terus ada tugas rumah menggambar manual dengan gambar yang lebih rumit, capek sekali aku saat itu. Belum lagi tugas-tugas mata kuliah teori yang merepotkan. Tapi seiring berjalannya waktu aku mulai terbiasa dengan semua itu, semester satu yang aku lalui dengan susahnya tergantikan di semester dua yang aku sudah merasa menikmatinya. Semester tiga dan empat nilai meningkat lumayan tinggi, IP semester tiga malah pernah mencapai 3,5, wow keren sekali aku pikir saat itu. Aku sempat pamer sama wanita yang aku sukai dari smp ‘Irma Meirina’ , dengan harapan aku bisa mendekatinya lagi karena aku tidak pernah bertemu lagi sejak tahun 1999, dulu aku sempat mengungkapkan cintaku sama dia. Lucu dan berkesan sekali waktu itu, aku mengambil momen yang kupikir akan tepat bila aku katakan bahwa aku suka dia, yap hari ulang tahunnya. Aku tahu dia ulang tahun tanggal 17 mei ketika kami sempat berbicara berdua di kelas ketika beberapa bulan lagi kami lulus smp, aku tak ingat berbicara tentang apa, aku pikir tentang tim favorit kami berdua yang kebetulan sama di Liga Italia yaitu Internazionale. Tapi, tiba-tiba kami berbicara mengenai tanggal ulang tahun masing-masing, kebetulan waktu itu sebentar lagi dia ulang tahun, dengan bicara seenaknya dia berkata, “bentar lagi dong aku ulang tahun, tanggal 17 mei”, “oh ya”, aku kaget, benar juga aku pikir bentar lagi dia ulang tahun. Aku suka sama dia sejak pertengahan kelas tiga smp ketika aku sering berjualan kaos tim sepakbola, dia konsumen terbaikku, dalam satu minggu bisa tiga kaos yang dia beli, aku ga tau mungkin dia jual lagi ke orang lain. Aku ga perduli, yang penting daganganku laku, ketika itu aku sering ngobrol sama dia, tentu saja mengenai kaos sepakbola yang aku jual, kepanjangan ceritanya………

Singkat cerita tanggal 17 mei aku kirimi dia hadiah ulang tahun, disertai surat cinta dong, haha.. lucu, tolol, aku pikir saat itu. Ketika aku kirim hadiah itu, liburan agak panjang sedang berlangsung. Aku tunggu masuk sekolah lagi buat ketemu sama dia…………………… anjing, deg-degan euy. Hari senen, aku pakai jaket hitam sporty merk Asyc yang aku punya, keren aku pikir. Siip… tiba di gerbang sekolah, aku melewati pos satpam, aku lihat ke lantai dua dimana kelasku berada. “Ada ngga ya?...”, aku pikir, langkahku terhenti, ragu mulai menggelayuti, jantungku terasa kencang berdebar saat itu. Lima belas menit aku tertahan memikirkan semua hal yang kemungkinan akan terjadi. Mantap, kupikir inilah saatnya, setiap anak tangga menuju kelasku kulewati untuk sampai di tempat yang aku tuju, wow, ada orangnya, dia sedang melihat ke bawah dari selasar lantai dua depan kelas kami. Aku dekati, “hai”, kataku pendek, “hai”, jawabnya, “Irma”, kataku sedikit menggoda, “aku ngga nyangka”, katanya dengan sedikit memperlihatkan ekspresi terkejut, “ngga nyangka apa?” tanyaku penuh kepura-puraan, “kamu itu lo, kenapa sih kaya gitu sama aku”, tanyanya, aku membalas pertanyaannya, “ iya aku suka sama kamu”, “aku ngga percaya”, dia bilang, “aku harus melakukan apa untuk membuatmu percaya”, kataku berharap, kemudian aku berlutut dihadapannya, membuatku tampak bodoh. Aku pikir itu cerita masa smp ku yang kupikir berkesan seklaigus menyebalkan, karena dia pergi lebih cepat dari temen-temen yang lain. Dia harus mulai ospek di kampus barunya di Smakbo lebih cepat dari SMA pada umumnya. Ketika pentas seni diadakan aku pikir dia sudah ada di Bogor, kecewa seeh……

Gila, habis smp aku masuk stm yang kesemuanya cowok, hanya satu cewek di angkatanku itu pun kelas lain. Semasa stm itu aku tetap menyimpan rasa itu………………….

Tamat stm aku mulai sering SMS sama dia, aku bilang apa kabar, gitu lah…. Kepanjangan ceritanya…… semester 2 aku mulai akrab lagi dengannya, aku masih suka. Pengharapanku ingin bertemu tercapai ketika semester 3, ketika itu aku menjadi seseorang yang berbeda, narsis, aku benci bila mengingat caraku bersikap saat itu, seolah-olah mau membuat dia terkesan dengan aku sekarang yang lebih baik dari sebelumya, kesalahan, aku gagal, dan aku benci saat itu, benci sekali, aku tak mau mengulang kesalahan yang sama. Padahal dia sudah memberiku pengharapan……….ya sudah penyesalan hanya ada di belakang. Aku sadar ketika seseorang jatuh cinta terhadap lawan jenisnya, dalam hal ini aku sama dia, laki-laki terhadap perempuan, dasep terhadap Irma. Lebih baik jika benar-benar cinta dan berniat menikahinya dia harus lebih muda dari aku minimal 5 tahun, kenapa? Karena aku bisa mendidiknya, menuntunnya sebagai seorang suami, mudah di pimpin olehku jika aku menjadi seorang suami, itu kata ibuku. Tapi Irma tidak menurut pendapat ibuku, lama aku berpikir, iya juga kali ya, harus muda minimal 5 tahun. Ga tahu juga deng, jodoh diberikan tuhan dari langit kata Maria, “bukan dari langit Maria, tapi dari hati”, bantah Fahri..

Udah lama ga ketemu sama Irma, rasa yang dulu ada aku pikir sudah terkikis secara pelan-pelan, saat ini aku fokus dengan kuliahku, hey girl come to me, papa need you………Stop, sudah dua jam aku duduk disini, ngaso dulu……….. ngalor ngidul teu puguh…